Kamis, November 10, 2022

Pendidikan Vokasi, Terhubung dengan Industri atau Terhubung dengan Capaian Kompetensi?? #NgajiPendidikan02

Pendidikan Kejuruan selalu dikaitkan dengan penyiapan siswa agar siap bekerja. Itulah alasan mengapa lahir sekolah atau madrasah kejuruan. Ada yang unik yang diinisiasi oleh Kementerian Agama yang menetapkan madrasah akademik plus ketrampilan. Sebutan "akademik" dilabelkan kepada madrasah yang fokus pada "belajar sains". Sedangkan sebutan "ketrampilan" untuk menegaskan ia bukan sekolah "kejuruan". 

Hanya saja penerjemahan madrasah plus ketrampilan direduksi dalam mata pelajaran yang memiliki kedekatan dengan kejuruan. Tidak aneh, tambahan di dalamnya adalah penguatan skill otomotif,  tataboga, perhotelan, perkantoran, pembatikan, dan sejenisnya.

Saya memiliki pandangan yang agak "menyimpang" dengan pandangan umum definisi madrasah plus ketrampilan. Menurut saya, basis keilmuan yang dipelajari siswa di madrasah harus menjadi dasar memperkuat ketrampilan ini. Seharusnya bisa saja dengan penguasaan substansi rumpun IPA, ia bisa gunakan ilmu itu untuk pengembangan pertanian, perikanan maupun perkebunan, yang disesuaikan dengan kehidupan masyarakat sekitarnya. Begitu pula dengan basis IPS dapat

menumbuhkan ketrampilan analisis sosial. budaya serta ekonomi di masyarakat sekitarnya, dan lain sebagainya.

Seorang siswa yang lahir dari keluarga petani harus mampu menganalisis bottle next persoalan kehidupan petani, sehingga seselesainya menempuh pendidikannya dapat "balik kampung" dan ilmu yang dipelajarinya bermanfaat untuk menyelesaikan pelbagai problematika kehidupan petani. 

Begitu pula dengan siswa yang tumbuh di lingkungan pedagang maupun nelayan. 

Garuda, Bangka Belitung - Jakarta, 11 Nov 2022.

Pendidikan itu Harus Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis, Bukan Kritik Loh!! #NgajiPendidikan01

Kemampuan berpikir kritis (critical thinking) adalah kemampuan fundamental yang harus dimiliki oleh "produk" pendidikan. Bagi saya, jika tidak terwujud kemampuan tersebut, maka lembaga tersebut bisa dinyatakan "gagal".

Berpikir kritis adalah kemampuan membaca segala sesuatu secara komprehensif. Berpikir kritis adalah kemampuan untuk berpikir dengan rasional, tertata dan memahami hubungan antara ide dan/atau fakta. Berpikir kritis bisa membantu kita dalam menentukan apa yang kita percayai.

Berpikir kritis merupakan kemampuan berpikir dengan jernih dan rasional mengenai apa yang yang harus dilakukan atau apa yang harus dipercayai serta mampu membuat penilaian yang rasional, logis, sistematis, dan dipikirkan secara matang.

Saya kutipkan beberapa pendapat pakar. Robert Ennis seorang filsuf Amerika memberikan catatan bahwa berpikir kritis merupakan penalaran mengenai keyakinan dan tindakan yang masuk akal dan berfokus pada memutuskan apa yang dipercayai atau yang dilakukan.

Michael Scriven profesor ahli ilmu perilaku dan organisasional yang berasal dari Claremont Graduate University, menyatakan bahwa berpikir kritis merupakan proses disiplin intelektual untuk secara aktif dan terampil membuat konsep, menerapkan, menganalisis, mensintesis, dan/atau mengevaluasi informasi.

Jadi, kemampuan berpikir kritis akan jadi modal dalam menghadapi kehidupan nyatanya.

Seseorang yang berpikir kritis otomatis akan memiliki kemampuan berpikir kreatif, suka melibatkan orang atau unsur lain dalam memberikan solusi. Dan orang yang berpikir kreatif tidak akan gelisah menghadapi perubahan zaman yang begitu pesat. Karena ia dapat menyesuaikan dengan perubahan zaman. 

Setiap pendidik harus mewajibkan dirinya untuk menjadikan setiap peserta didiknya memiliki tradisi berpikir kritis. Orang yang memiliki pemikiran kritis tidak akan pernah tertipu meskipun menggunakan jargon agama. Justru malah akan memiliki semangat kemandirian yang kokoh. Ingat kritis itu bukan kritik. Orang yang berpikir kritis akan mudah untuk menyampaikan kritik, bukan sebaliknya. Wallahu a'lamu bis shawab.


Kereta Jogja-Jakarta, 22 Okt 2022

Senin, Juli 25, 2022

Merdeka belajar ala Madrasah yang Lahirkan Para Pembelajar

Saya memiliki pengalaman mengikuti pendidikan yang sangat menarik di sebuah sekolah jenjang SLTA khusus bidang agama yang berada di pinggiran kota Solo di tahun 90an. Nama sekolahnya adalah Madrasah Aliyah Negeri Program Khusus--disingkat MAN-PK atau lebih familiarnya MAPK. Kurikulumnya, 85% keagamaan yang disampaikan dengan dua bahasa; Arab dan Inggris sebagai pengantar. Proses belajarnya secara formal dari jam 07.00 sampai dengan 12.30 setiap harinya, 14.00 - 16.30 untuk tutorial muatan keagamaan dan waktu sisanya untuk belajar mandiri dan pengembangan potensi diri. Dari sekian mata pelajaran, hanya Bahasa Indonesia, matematika, Pendidikan Moral Pancasila, Bahasa Inggris dan sosiologi yang merupakan mata pelajaran "sekuler" yang diajarkan pada jam belajar formal.

Ketika ada jam kosong di pagi hari, para siswa secara bergiliran mengisi dengan diskusi ‘bedah buku’ atau penyampaian gagasan-gagasan sebagai hasil refleksi atas buku-buku yang dibacanya. Setiap habis liburan panjang, setiap siswa harus menceritakan pengalaman liburannya yang paling berkesan. Jika ia suka dengan puisi, maka dia akan berpuisi. Jika ia suka bercerita, maka ia akan sampaikan dengan cerita lucunya. Jika ia suka banyol, lebih heboh lagi tentunya. Yah, kami dilatih untuk berbicara, berpikir kritis, mengungkapkan pikiran, dan lain-lain.

Jam-jam transisi adalah jam-jam yang merupakan kesempatan setiap anak mengekspressikan potensinya. Yang ingin mengoptimalkan potensi otak kirinya, dia suka corat-coret menuangkan ekspressinya dalam goresan pena kaligrafinya atau ‘mojok’ di kamar bermain gitar dan bernyanyi-nyanyi yang tidak jelas arahnya. Kalo yang masih membawa ‘aroma’ santri pada jenjang pendidikan sebelumnya, ia akan pergi ke tempat yang agak sunyi dan berlatih membaca Al-Quran bi al-nagham (lagu). Yah sekedar mengoptimalkan kecerdasan musicalnya. Yang memiliki kecerdasan kinestetik, dia akan menuju ke ‘lapangan’ di tengah kuburan sekedar main bola. Yang memiliki kecerdasan intrapersonal, dia akan pergi ke kuburan untuk mencari inspirasi, lalu ia tuangkan dalam bentuk tulisan, puisi atau artikel, dan lain sebagainya. Semua kemampuan tersebut terekspressikan dalam wadah kegiatan yang bernama muhadlarah, yakni sebuah acara latihan berpidato dalam 3 bahasa. Di sela-sela itu ada sessi hiburan (tashliyah). Setiap siswa diberi kesempatan secara bergiliran. 

Dalam membongkar pola pikir keagamaannya, kami semua di’hidangkan’ menu pemikiran dalam 3 (tiga) corak sesuai profil para asatidz pembina; fundamental, liberal dan moderat (lebih cocoknya sepertinya konservatif). Maka, tidak ayal lagi jika selama kontak di dalamnya, pertarungan discourse keislaman menjadi sangat dinamis. Secara pemikiran, kita menjadi terbelah. Namun keterbelahan tersebut bukan menciptakan friksi antar kita. Bisa dikatakan, MAPK dapat disebut gambaran model pendidikan dengan spirit nilai-nilai moderasi.

Uniknya, selama 3 tahun menggeluti ilmu agama, tapi alumninya bisa mendaftar kuliahnya selain di PT yang linier. Seharusnya lulusan sekolah ini “ditakdirkan” hanya masuk di kampus agama, yakni IAIN (saat itu). Namun dalam kenyataannya, tidak sedikit lulusannya yang "menyebrang" dan menciptakan “takdir”nya sendiri. Mereka diterima kuliah di UGM, UI, UNDIP, ISI, ITB, UMS, STAN dan lain sebagainya. Lebih unik lagi, setelah lulus kuliah di PT, dunia kerjanya banyak yang tidak terkait sama sekali dengan disiplin ilmunya. Ada yang menjadi sastrawan, sutradara perfilman, novelis, pianis, konsultan keuangan, entrepreneur, hypnotherapy, motivator, pengacara, pengamat politik, politisi, polisi, tentara, aktivis NGO, wiraswasta, dan sebagiannya lagi berprofesi sebagai pendidik, dosen atau tokoh agama.  

Unik memang, tapi ini adalah kenyataan dari sebuah praktik pendidikan yang patut dikaji lebih dalam, mengapa bisa demikian.

Selama di tempat kerja, saya juga menemukan seorang anak muda yang kreatif. Saya telusuri latar belakang pendidikannya dan ternyata kemampuan kreatifitasnya tidak ada sangkut pautnya dengan disiplin ilmu yang dipelajari di bangku kuliahnya. Dia dikenal sebagai desainer grafis, pembuat film pendek, layout buku dan sejenisnya dengan imajinasi di atas rata-rata.     

Kini, setelah saya menjadi praktisi pendidikan dan memahami seluk beluk pendidikan, saya berani mengatakan barangkali itulah produk dari sebuah proses pendidikan yang dinamakan--meminjam istilah Mendikbud Nadiem Makarim--dengan "merdeka belajar". Merdeka belajar bukanlah barang baru dan sudah lama ditetapkan di beberapa lembaga pendidikan di Indonesia meski tanpa menyebutnya dengan istilah 'merdeka belajar'.

Ketika merdeka belajar dilaunching Kemendikbud beberapa bulan yang lalu, hemat saya, adalah salah satu bentuk reformasi bidang pendidikan yang paling berani. Gagasan ini diharapkan dapat membongkar mindset lama pendidikan nasional yakni menganggap pendidikan yang melulu menyiapkan peserta didiknya menjadi pekerja. Namun apa daya, ternyata penerjemahan konsep ‘merdeka belajar’ terjebak lagi dalam linking and matching dengan dunia kerja.

Merdeka belajar adalah konsep pendidikan yang sebenarnya merupakan bentuk kritik atas kemapanan model pendidikan yang terlalu "mengabdi" pada dunia industri. Kebijakan pendidikan terlalu diorientasikan untuk mempersiapkan tenaga trampil bekerja. Maka sedari masuk sekolah, peserta didik "terdoktrin" dengan 'belajar untuk bekerja'. Alhasil, setelah bekerja mereka menganggap "sudah tidak perlu belajar." Maka lahirlah para pekerja yang sepanjang hayat menjadi pekerja. Analisis saya, ‘Merdeka Belajar’ adalah penerjemahan dari teori-teori tentang ‘pendidikan yang membebaskan’ yang berparadigma praksis - kritis. Salah satu tokoh yang dikenal kritis terhadap model pendidikan modern adalah seorang pendidik dari Brazil yang bernama Paulo Freire dalam bukunya yang berjudul ‘Pedagogy of the Oppressed’ (Pendidikan Kaum Tertindas).

Nah, merdeka belajar harus didesain untuk lahirkan para pembelajar. Pembelajar adalah seseorang yang merasa tidak akan pernah berhenti belajar meski sudah bekerja. Belajar bukanlah sekedar "ritual" untuk mendapatkan gelar lalu bekerja. Pembelajar harus memahami bahwa hidup ini sesungguhnya adalah rangkaian kegiatan "belajar", belajar mengeja ilmu, belajar menyesuaikan dengan segala kondisi, belajar menghadapi persoalan dan tentu saja siap untuk memecahkannya. Hidup ini bagi pembelajar sejati adalah suatu lahan luas dimana bermacam-macam ilmu bisa dipelajari, dimaknai dan diamalkan. Barangkali itulah makna “thalab al-’ilmi min al-mahdi ila al-lahdi”.

Seorang pembelajar selalu siap dengan segala keadaan. Dia tidak terjebak dengan latar belakang dirinya baik latar belakang keilmuan maupun kehidupannya. Dia terbiasa melakukan terobosan dan berkreasi.

Memang, keadaan seperti itu seakan mengiyakan hasil dokumen UNESCO yang pernah dipublish 13 tahun lalu yang menyebutkan bahwa hanya 5% orang yang bekerja sesuai dengan latar belakang disiplin ilmunya.

Data UNESCO tersebut sebenarnya sekaligus menunjukkan bahwa jika dunia pendidikan selalu diproyeksikan harus selalu "link and match" dengan dunia kerja, adalah sebuah kealpaan. Sebab pendidikan seharusnya melahirkan para pembelajar yang siap menghadapi perubahan termasuk perubahan kebutuhan kerja, memiliki fleksibilitas dengan perubahan zaman dan juga perubahan dunia. Sebab perubahan itu berlangsung terus menerus dan berlangsung sangat cepat. Bisa dibayangkan jika kurikulum pendidikan harus selalu menyesuaikan dengan perubahan tersebut. Pendidikan harus mampu menjadikan pembelajar menemukan jati dirinya sebagai manusia (bukan mesin ya?). Dalam bahasa tasawuf disebut insan kamil (manusia sempurna). dengan statusnya sebagai insan kamil, ia siap untuk mengemban fungsi khilafah, yaitu khirasat al-din (menjaga agama) dan siyasat al-dunya (mengelola dunia).

Nah, selama ini pendidikan diarahkan untuk mengisi dunia kerja. Dengan kata lain, ilmu yang diajarkannya adalah ketrampilan, tidak menyinggung sama sekali aspek keilmuan yang sebenarnya. Pendidikan menjadi tempat penyiapan tenaga kerja perusahaan-perusahaan. Selesai menempuh pendidikan, mereka harus mencari kerja, bukan mencipta lapangan pekerjaan. Mereka enggan melanjutkan profesi orang tuanya sebagai petani meski lulusan dari sekolah pertanian. Tidak mampu berwiraswasta meski lulusan perekonomian. Jika pendidikan memiliki fungsi yang demikian, maka lembaga pendidikan memerankan sebagai lembaga yang “memperdayakan” bukan lembaga yang “memberdayakan”.

Ini adalah anomali pendidikan, yang sekaligus menunjukan bahwa ada yang salah dalam desain pendidikan nasional.

“Merdeka belajar” betul-betul dapat mengembalikan pendidikan pada "fitrah"nya dan juga dapat lahirkan para pembelajar. Pendidikan juga menjadi berkorelasi positif dengan kesejahteraan dan kualitas pendidikan. Di situlah, saya merasakan belajar di MAPK betul-betul ‘merdeka belajar’.


Anis Masykhur, Lulus dari MAPK Tahun 1995. Praktisi Pendidikan dan Peneliti & Dosen pada Alhikmah Islamic Studies Institut dan Dosen UIN Samarinda Kaltim. Email: anismanis@gmail.com 

Sabtu, Juli 09, 2022

Ibadah Haji Dan Qurban; Napak Tilas Perjalanan Nabi Ibrahim


الله اكبر 9
x كبيرا والحمد لله كثيرا وسبحان الله بكرة و اصيلا  لا اله الا الله اكبر, الله اكبر ولله الحمد. الحمد لله له الملك وله الحمد وهو عل كل شيء قدير. الذي خلق الموت والحياة ليبلوكم ايكم احسن عملا وهو العزيز الغفور. أََشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ, اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى الرَّسُوْلِ الشَّفِيْعِ الْعَظْيْمِ سَيِّدِنَا وَمَوْلاَنَا مُحَمَّدٍ (ص) وَعَلىَ آلِهِ وَاَصْحَابِهِ اَجْمَعِيْنَ, اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي مِنْ التَّوَّابِينَ وَاجْعَلْنِي مِنْ الْمُتَطَهِّرِينَ (اما بعد) فَيَا أَيُّهاَ الْمُسْلِمُوْنَ, اتَّقِ اللَّهِ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعْ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ وَقاَلَ اللهُ تَعَالَى فِى كِتَابِهِ

وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ(27)لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ

Sidang Jamaah Shalat Idul Adha Rahimakumullah

Setelah khatib menyampaikan puji syukur kepada Allah Swt atas segala nikmat yang kita semua terimda yang tiada terkira dan dilanjutkan shalawat kepada baginda Rasulullah Saw, khatib tak bosan-bosannya untuk mengingatkan kita semua agar senantiasa meningkatkan kualitas ketakwaan kita dengan bukti menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi lara ngan-Nya. 

Allahu Akbar Walillahil Hamd

Sejak hari kemarin, sejumlah ummat Islam di dunia bersama-sama mengumandangkan takbir, Allahu akbar3x, mengagungkan nama Allah Swt sekaligus bersyukur dalam rangka Idul Adha (hari raya kurban). Sedangkan yang menunaikan ibadah haji mengumandangkan talbiyah menjawab panggilan-Nya. Labbaikallahumma Labbaik…

Jamaah Idul Adha Rahimakumullah

Ibadah Haji dan ibadah qurban merupakan program “napak tilas” pendiri monotheisme dunia, Nabiyullah Ibrahim a.s., khalilullah, sang kekasih Allah Swt sebagai suatu jalan untuk menemukan kembali fitrah manusia itu sendiri. Ia bukan hanya sekedar ritual ibadah yang berdimensi individual, tapi juga berdimensi sosial. Ibadah haji adalah deklarasi kepercayaan, sebuah proses reformasi diri, serta motivasi untuk lebih menguatkan semangat pengabdian kepada Allah Swt. Perjalanan Panjang Nabi Ibrahim mencari Tuhannya, dengan melihat gejala-gejala alam; terbit dan tenggelamnya bintang, bulan dan matahari, sampai ia berkesimpulan menuju pada Zat yang satu. Setelah menemukan tuhannya, ia menjalankan perintah Allah Swt tanpa ada penolakan sedikitpun; mulai dari meninggalkan istri dan putra tercintanya di tengah gurun nan gersang, hingga mengorbankan putranya, Ismail as ketika menjelang dewasa, demi bakti dan pengabdiannya kepada Allah Swt.

Allahu Akbar Walillahil Hamd

Ibadah haji adalah sebuah ‘keberangkatan’; bukan hanya suatu perpindahan geografis dari satu titik ke titik lainnya dalam waktu tertentu (yakni dari Indonesia ke Makkah, dari bukit Shafa ke marwa, dan lain sebagainya), bukan juga perpisahan sesaat dari seorang pengelana modern yang hanya menurutkan rasa ingin tahu; melainkan juga merupakan suatu keterputusan batiniah dengan diri sendiri, dengan dunia ‘rumah’ yang sudah begitu akrab dengan kebiasaan-kebiasaan yang sudah mapan. Memaknai haji dan qurban secara tidak tepat, maka haji dan qurban menjadi sebuah ritual yang hampa akan makna.

Akibatnya, jika kita tidak hati-hati, ibadah haji menjadi tidak berbeda dengan aktifitas penyembahan terhadap batu (benda mati), atau berkeliling mengkultuskan sebuah bangunan sederhana (yakni ka’bah).

Allahu Akbar Walillahil Hamd

Allah swt telah berfirman dalam QS Al-Baqarah [2]: 189

وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَنْ تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ ظُهُورِهَا وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَى وَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

….Bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah orang yang bertakwa…

Ayat ini dipahami bahwa ibadah haji bukanlah ritualitas fisik belaka, masuk dan keluar, pindah dari satu tempat ke tempat lain, namun jauh lebih dalam dari itu semua, yakni dalam rangka menggapai makna ketakwaan sejati.

Kaum Muslimin Rahimakumullah

Ibadah haji harus sarat makna yang lebih mendasar bagi para pelakunya. Acara-acara ibadah/ritual dan non ritualnya serta kewajiban atau larangan yang diberlakukan, baik secara nyata dan simbolik, dapat mengantarkan jamaah pada satu tujuan hidup dengan pengamalan dan pengalaman kemanusiaan yang lebih menunjukkan makna hakikat agama, yang pada akhirnya pemahaman ini akan merealisasikan dan menunjukkan agama Islam betul--betul sebagai rahmatan lil 'alamin.

Makna ibadah haji akan menjadi lebih jelas lagi bila ditempatkan pada perspektif gerakan kemanusiaan, yang mengibarkan lambang abadi dari pesan kebersamaan dan kesetaraan derajat antar sesama manusia.

Ibadah haji merupakan contoh ibadah yang memosisikan manusia secara setara, ‘tanpa perbedaan status sosial’.

Ini tersirat dari firman Allah Swt:

وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ(27)لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ

Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfa`at bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. (QS Al-Hajj: 27-28)

 

Jamaah Rahimakumullah

Mari kita cermati contohnya satu persatu. Seorang muslim yang hendak berhaji harus mulai rela meninggalkan rumah, status sosial, dan segala kenikmatannya untuk menuju baitullah. Karena Tuhan tidak bisa didekati kecuali dengan meninggalkan seluruh ego kita.

Proses ibadah haji sejak miqat makani, yang ditandai dengan memakai kain ihram, mengandung makna yang signifikan bagi terwujudnya masyarakat tanpa perbedaan status sosial. Manusia harus melepaskan seluruh pakaian kesehariannya. Sejak saat itu, terlarang untuk terlalu bangga dengan status dan jabatannya; umat harus meninggalkannya menuju persamaan antar sesama.

Pakaian menyimbolkan perbedaan status sosial, pola dan preferensi seseorang. Pakaian juga menutupi watak manusia dan dirinya dari aslinya. Pakaian juga berpengaruh secara psikologis kepada pemakainya. Oleh karena itu, inilah awal pemisahan segala perbedaan dan awal menuju komunitas anti-struktur.

Kemudian ketika melaksanakan wukuf  (berdiam) di Padang Arafah, seluruh jamaah melakukan perenungan terhadap jati dirinya dan menyadari siapa dirinya; segala sesuatu adalah sama di hadapan Allah dan Allah tidaklah akan melihat status sosialnya. Kesadaran ini akan membawa manusia akan semakin arif dalam segala tindak tanduknya.

Itulah yang ditunjukkan oleh Kholilullah, dengan penghancuran tempat pemujaan (dalam bentuk berhala) dan bahkan harus rela mengorbankan apa yang dimilikinya yakni anak dan istri demi cintanya pada Allah Swt. Istrinya, Siti Hajar dan putranya harus ditinggalkan di tengah padang pasir nan gersang Bersama anaknya, Ismail a.s. Dan Ketika menginjak dewasa, harus dikorbankan karena perintah Allah Swt. Itulah kemudian yang menjadi syariat ibadah Kurban. 

Jamaah Rahimakumullah

Sayangnya, praktik ibadah haji sekarang ini kering dari nilai itu semua. Ibadah haji mengalami pembedaan secara praktik dan ideologi yang berdasarkan kelas sosial. Ibadah yang pada awalnya mengandung nilai mulia itu, telah menjadi ibadah yang menampilkan jurang perbedaan status sosial yang tajam. Di satu sisi, kaum elit pedesaan melaksanakan ibadah haji dengan sederhana dan ala kadarnya, yang kemudian diistilahkan dengan haji biasa. Sementara, kaum elit perkotaan melaksanakan ibadah haji  dengan perlakuan istimewa dan cepat yang biasa disebut dengan haji plus. Di sana ditawarkan hotel-hotel berbintang, transportasi dengan bus-bus ber-AC dan sarana-sarana lainnya.

Kaum elit mulai senang berhaji seraya menampakkan simbol-simbol keelitan dan keislamannya. Mereka mulai menampakkan identitas “kehajjiannya” meskipun dengan amalan-amalan terbatas. Mereka mulai terjebak dalam baju-baju haji dan simbol-simbol keagamaan yang semu, menganggap berhaji hanya untuk mendapatkan peci putih beserta surbannya. Akhirnya banyak orang yang mengaku dirinya “haji”, tapi bersamaan dengan itu juga mereka “rajin” menzalimi orang lain, dan lain sebagainya.

Jamaah Shalat Id yang dimulyakan Allah

Barangkali itulah yang menjadikan kisah tokoh sufi dan muhaddis, Abdullah bin Mubarak. Kisahnya dimulai dari mimpi al-Imam Abdullah bin Mubarak di satu malam, dimana ia dalam mimpinya melihat dua orang yang saling berbicara. Yang satu mengatakan, “tahukah kamu tahun ini berapa orang yang Allah terima hajinya?” Orang kedua menjawab: “Tidak!” Yang bertanya tadi kemudian mengatakan: “Tahun ini, banyak dari orang yang berhaji tidak diterima hajinya. Tapi, Allah kemudian memaafkan mereka semua lalu menerima hajinya dengan kemuliaan seorang tukang sepatu di daerah Syam meskipun dia tidak berangkat haji.”

Setelah mendengar dialog itu, Ibn Mubarak terbangun kaget dan tidak bisa tidur.

Esoknya ia berangkat mencari ke Syam siapa sebenarnya tukang sepatu ini, padahal ia tidak tahu namanya. Singkat cerita Abdullah bin Mubarak menemukan tukang sepatu tersebut. Beliau langsung bertanya, “wahai tukang sepatu, anda berhaji tahun ini?” Tukang sepatu menjawab: “tidak.” Abdullah bin Mubarak pun bertanya lagi, “kalau gitu, ceritakan peristiwa tentangmu!”

Tukang sepatu bertanya lagi, “memangnya kenapa?”

Abdullah bin Mubarak meyakinkannya dengan mengatakan, “berceritalah, nanti saya akan menjelaskan alasannya.”

Tukang sepatu pun mulai bercerita, “pekerjaan saya tukang sepatu. Sejak awal tahun ini, saya mulai menyisihkan pendapatan saya sedikit-sedikit supaya bisa berhaji di akhir tahun atau tahun sesudahnya. Ketika sudah hampir memasuki musim haji, saya melihat harta saya sudah cukup untuk berangkat haji. Saya pun mulai mempersiapkan segala hal, sampai setelah itu saya kembali ke rumah dan istri saya yang sedang hamil menemui saya. Lalu tercium bau daging panggang yang nikmat sekali masuk ke dalam rumah. Istri saya kemudian langsung memberikan piring dan bilang, “coba minta perkenan tetangga kita yang memasak ini agar memberikan sedikit ke kita.” Saya pun setuju dan keluar mencari sumber bau itu, dan tiba di sebuah rumah. Ketika pintunya dibuka, keluarlah seorang perempuan tua. Saya pun menyampaikan keinginan saya. Ia terdiam sejenak, lalu berkata, “baik, saya akan berikan. Tapi boleh saya menceritakan kisahku. Saya rasa engkau perlu mengetahui ini, kalau menurut anda kisah ini baik, saya akan memberikan daging panggangnya.” Saya pun mengiyakan. Perempuan itu pun cerita, suaminya sudah meninggal lama. Dan harta mereka baru saja habis seminggu sebelumnya. Anak-anaknya hari ini sudah mulai kelaparan. Perempuan itu pun keluar mencoba barangkali menemukan sesuatu yang bisa dimakan, sampai ia menemukan ada kambing mati di suatu tempat pembuangan. Naluri keibuannya bangkit, sang perempuan mencoba mengambil sebagian daging dan membawanya pulang untuk dimasak dan itulah dagingnya.

Aku pun segera pulang, menampar-nampar wajahku sendiri dan menyalahkan diriku. Ini tetanggaku masih membutuhkan dan anak-anak bahkan hampir mati sementara aku sejak kemarin terus mengumpulkan harta untuk berhaji. Aku pun pulang mengambil harta itu, dan kembali ke rumah perempuan itu dan menyedekahkan semua hartaku untuknya.”

Abdullah bin Mubarak pun berkata, “Berbahagialah engkau, Allah tidak hanya mencatatmu sebagai seorang haji saja, tapi karenamu Allah menerima ibadah haji semua orang di tahun ini.” Kisah ini disebut sumbernya dapat ditemukan dalam al-Bidayah wa an-Nihayah karya Ibn Katsir.

Allahu Akbar walillahilhamd

Ibadah haji itu mencerminkan kepulangan secara mutlak kepada Allah yang tidak memiliki keterbatasan. Pulang kepada Tuhan  adalah sebuah gerakan menuju kesempurnaan, kebaikan, kemudahan kekuatan nilai dan fakta. Dengan melakukan perjalanan keabadian ini manusia memang tidak akan pernah ‘sampai’ kepada-Nya. Tetapi ini merupakan manivestasi dari perjalanan “menghampiri”-Nya.

Semoga kita bisa istiqamah mempertahankan tradisi baik yang telah dibangun Nabiyullah Ibarahim a.s.

بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فِى الْقُرْآنِ اْلكَرِيْمِ وَنَفَعَنِى وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلاَيَاتِ وَذِكْرِ اْلحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنِّى وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ اِنَّهُ هُوَ اْلغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ, وَقُلْ رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَاَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِيْنَ



LIMA KARAKTER MANUSIA PASCA RAMADHAN, TOLOK UKUR KESUKSESAN MELEWATI RAMDHAN

 الله أكبر (٩×) كبيرا والحمد لله كثيرا وسبحان الله بكرة واصيلا لا إله إلا الله والله أكبر الله أكبر ولله الحمد الحمد لله الذى هدانا لهذا و ما كنا لنهتدى لولا أن هدانا الله اشهد ان لا اله الا الله وحده لا شريك له واشهد أن سيدنا  ونبينا محمداً عبده ورسوله لا نبي بعدهاللهم صل وسلم وبارك على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه ومن ولاه ومن تبع هداه إلى يوم لقاء الله أما بعد فيا عباد الله أوصيكم ونفسى بتقوى الله فقد فاز من اتقاه وأطاعه حيث قال الله فى محكم هداه ومن يطع الله ورسوله فقد فاز فوزا عظيما وقد قال رسول الله صلى الله عليه وسلم كل أمتى يدخلون الجنة إلا من أبى قيل ومن يأبى يارسول الله قال ومن أطاعنى دخل الجنة ومن عصانى فقد أبى صدق الله العظيم وصدق رسوله الكريم ونحن على ذلك من الشاهدين و الشاكرين والحمد لله رب العالمين

Jamaah sidang Idul Fitri rahimakumullah.

Hari ini, 1  Syawwal 1443  H yang dikenal oleh kita semua sebagai hari raya idul Fitri adalah hari kebahagiaan, bahagia karena meraih kemenangan dan ketaqwaan. Sebagai seorang muslim, patutlah kita bersyukur atas karunia Allah yang besar ini. Terlebih karena sepertinya negara tercinta ini secara perlahan terbebas dari pandemi menjadi endemic, sehingga kita dapat menjalankan salah satu syariatnya yakni menunaikan shalat berjamaah di masjid. Dan semoga puasa kita dan ibadah yang lainnya adalah wujud syukur kita di kepada Allah Swt. Seorang Muslim yang mampu merasakan bahwa menjalankan ibadah adalah wujud syukur kepada-Nya, adalah wujud keber-Islaman yang tinggi. Ini mengingatkan Ketika Rasul Saw di tanya para sahabat,: “Ya Rasulullah, mengapa engkau masih melaksanakan shalat atau ibadah lainnya, padahal engkau sudah di jamin masuk surga?” Apa jawab Rasul Saw: “Tidak bolehkan aku bersyukur atas segala karunia tersebut?” Sebuah pertanyaan retoris yang luar biasa tinggi pesan dan maknanya.

Maka sudah selayaknyalah kita sebagai umatnya senantiasa bershalawat kepada-Nya sebagai bukti cinta kepadaNya, semoga dapat menjadi wasilah untuk mendapatkan syafaatnya di hari kiamat nanti.

Jamaah Rahimakumullah

Kata Idul Fitri terdiri dari 2 kata “Id” dan “Fitri”. ‘Id artinya adalah kembali, dan fitri artinya suci. Namun dalam Bahasa Arab, kata “fitri” ini memiliki maka khusus, dan beda dengan kata “fitrah”. Kata “Fitri” adalah kesucian yang didapat bagi orang-orang yang telah selesai menunaikan ibadah puasa, artinya ia sedang menikmati indahnya “berbuka”- nya, yang tidak akan pernah dirasakan bagi seorang muslim yang tidak menjalankan puasa. Maka, jika ia disebut hari raya. Maka ia adalah pesta bagi orang-orang yang berpuasa. Yang tidak berpuasa, ibarat tamu yang tidak diundang.

Jamaah Rahimakumullah

Hari ini, kita kumpul di tempat yang dimuliakan Allah, kita menjadi dimuliakan karena ketaqwaan, kita dimuliakan karena keilmuan, kita dimuliakan karena Allah masih beri kita kesempatan untuk menjadi orang dan bersama dalam kesalehan, kita dimuliakan karena kita berada dalam cinta kasih sesama insan yang beriman dan hidup berkebangsaan di negara yang tercinta. Sekali lagi patutlah bagi kita untuk senantias bersyukurlah kepada-Nya.

Kaum Muslimin Muslimat yang berbahagia

Ramadhan telah berlalu meninggalkan kita, selama sebulan penuh kita berjibaku mengisi hari demi hari, malam demi malam dengan penuh semangat peribadatan. Lantas, apakah kita dapat mengetahui keberhasilan puasa kita. Lalu apakah cukup bagi kita merayakan kemenangannya dengan memakai baju baru? Mengapa para ajaran agama menyarankan Hari Raya ini untuk memakai serba baru?

Berkenaan dengan kebiasaan serba membaharui mulai dari busana hingga berbenah rumah, ada sebuah mahfuzhat yang popular:

ليس العيد لمن لبس الجديد و لكنّ العيد لمن تقوئه يزيد

Tidaklah hari raya itu memakai pakaian baru, tapi yang disebut id adalah ketakwaan dan ketaatannya yang kian bertambah.

Allahu akbar walillahilhamd

Mahfuzhat ini memang memberikan kritik atas kebiasaan umat Islam yang lebih berkonsentrasi memperbaharui busana dari ibadahnya. Namun demikian, perintah berbusana serba baru adalah banyak pesan di dalamnya.

Ajaran agama kita banyak menyampaikan pesan dengan menggunakan simbol. Nah, sebenarnya pakaian baru adalah simbol bahwa kita hari ini (yang berpuasa dengan penuh keimanan dan keikhlasan) menempuh hidup baru dan serba baru, dengan keimanan dan ketakwaan baru.

Hakikatnya, orang yang menuntaskan puasa Ramadlan sudah kembali keadaan suci, seperti aslinya. Dalam Bahasa hadis diumpamakan “kayaumin waladathu ummuh” (seperti bayi yang baru dilahirkan). Inilah sebenarnya ciri asal sebagai penduduk surga. Maka, seyogyanya kita saat ini sudah layak menempati surga, karena kita aslinya adalah warga dari Surga. Sebagaimana Rasul Saw bersabda:

 كل أمتى يدخلون الجنة إلا من أبى قيل ومن يأبى يارسول الله قال ومن أطاعنى دخل الجنة ومن عصانى فقد أبى

Artinya:

Setiap ummatku akan masuk surga, kecuali yang enggan. Sahabat bertanya: Siapa yang enggan itu ya Rasulullah? Rasul menjawab: “Barang siapa yang taat kepadaku, maka dia masuk surga, dan barang siapa yang bermaksiat kepadaku, maka dia adalah termasuk yang enggan pulang kampung menuju Surga.

Jawaban Rasul Saw ini menegaskan bahwa seyogyanya seusai Ramadlan ini kita sebagai muslim menunjukkan perilaku sebagai ahli surga. Inilah yang akan menjadikan bahwa kita berhasil memanen Ramadlan jika kita untuk masa-masa ke depan menunjukkan perilaku sebagai penduduk surga.

Jamaah Rahimakumullah

Mari kita perhatikan, beberapa karakter yang terlihat dalam satu paket ayat puasa.

Pertama: Karakter Ketaqwaan. Bahkan takwa menjadi hasil akhir dari puasa.

Secara tegas Allah SWT memberikan penjelasan,

يا ايها الذين آمنوا كتب عليكم الصيام كما كتب على الذين من قبلكم لعلكم تتقون (البقرة: ١٨٣)

Clue ayat di atas adalah “tattaqun” (taqwa). Karakter ketaqwaan adalah sifat multi intellegensia manusia yang komplit sifat kebaikan pada diri insan. Karakter dasar yang melekatkan sifat dan watak yang selalu adaptif, responsif dalam ritme kehidupan yang mendamaikan dan membahagiakan. Bahasa agama menyebutkan “imtitsal awamirihi wajtinabuh nawahihi”

Kaum Muslimin Rahimakumullah

Karakter kedua adalah Karakter Keilmuan. Dalam lanjutan ayat tentang puasa ramadhan, Allah melanjutkan dengan penjelasan karakter keilmuan. Hal ini terlihat dari firman-Nya:

وأن تصوموا خير لكم إن كنتم تعلمون (١٨٤)

Clue ayat di atas adalah “ta’lamun” dengan akar kata “ilmu”, dan ayat lainnya “faman syahida minkumus syahra falyasumhu”. Memulai puasa dan cara berpuasa harus pakai ilmu, tanpa ilmu puasa menjadi kurang bermakna.

Ketaqwaan dan keilmuan laksana dua sisi mata uang yang tak bisa terpisahkan, sebab ibadah tanpa pengetahuan kurang begitu berarti. Ibadah yang dilakukan tanpa ilmu malah melahirkan pemahaman yang salah. Banyak yang terjadi, karena semangat ibadah yang tidak dilandasi ilmu pengetahuan. Sering kita dapati, banyak sebagian dari kita yang giat mengejar yang sunnah tapi mengorbankan yang wajib. Di sinilah, perintah menuntut ilmu didengungkan sejak keluar kanduangan hingga sampai masuk liang lahat.

Jamaah Rahimakumullah

Karakter ketiga adalah Karakter Kesyukuran. Allah Swt. berfirman:

ولتكملوا العدة ولتكبروا الله على ما هداكم ولعلكم تشكرون. (البقرة: ١٨٥)

Clue ayat di atas adalah syukur. Ciri calon penduduk surga adalah senantiasa bersyukur, karena merasa mendapatkan rahmat-Nya. “Senantiasa bersyukur” menghadirkan sosok pribadi insan yang memiliki jiwa yang selalu menghargai segala aneka jenis anugerah dan pemberian.

Sebaliknya, tiadanya karakter dan watak kesyukuran pada pribadi setiap insan akan mudah menghadirkan sifat iri, dengki, cemburu, mencari-cari kesalahan orang dan sejenisnya. Jika sikap syukur hilang pada kepribadian insan, maka jangan pernah berharap untuk menjadi manusia yang paripurna sempurna dalam menikmati dinamika kehidupan.

Pantaslah Sang Nabi Muhammad Saw menasihatkan:

من لم يشكر القليل لم يشكر الكثير ومن لم يشكر الناس لم يشكر الله (أو كما قال صلى الله عليه وسلم)

Siapa yang tak bersyukur dalam kekurangan tentu tak akan        pernah mampu syukur dalam kecukupan, Siapa yang tak bisa berterima kasih sesama manusia, dia tak akan pernah bisa bersyukur kepada Allah Swt.

Tetaplah bersyukur atas segala keadaan, kebahagiaan akan selalu tersemayam dalam di relung hati sanubari kita sekalian.

Allah Akhbar walillahil hamd

Karakter keempat adalah karakter al-mursyidin yakni selalu tercerahkan.

Allah Swt berfirman:

وإذا سألك عبادى عنى فإنى قريب أجيب دعوة الداعي إذا دعانى فليستجيبوا لى وليؤمنوا بى لعلهم يرشدون (البقرة :١٧٦)

Kata “yarsudun” adalah clue karakter keempat yang selalu terbimbing dalam kebaikan. Al-mursyidun adalah karakter yang tak akan mudah terjebak jatuh dalam noda dosa kegelapan, tak akan pernah tergelincir dalam dosa kata dan perkataan, orang yang selalu dalam bimbingan dan pengawasan Seorang mursyid tak akan pernah lengah dan malas dalam menebarkan kebaikan dan keharmonisan di setiap masa, waktu dan lingkungan kehidupan.

Karakter al-mursyidin ini tak akan dapat diraih jika tidak diawali dengan tiga pilar karakter utama yaitu karakter ketaqwaan, keilmuan dan kesyukuran.

Saudaraku seiman yang termuliakan.

Semua hal di atas, lagi-lagi muaranya adalah ketakwaan.

Allah Swt. tegaskan:

كذلك يبين الله آياته للناس لعلهم يتقون (البقرة:١٨٧)

Ketaqwaan paripurna setiap insan terletak dalam kemampuannya mempertahankan keempat karakter yang disebut oleh Allah Swt dalam Al-Quran.

Gelar ketaqwaan menjadi penanda sang Insan telah menghadirkan semua elemen kehidupan dalam balutan keridhaan Allah Swt yang maha memberi keberkahan. Gelar kehormatan dan penghargaan kemuliaan bagi insan yang beriman di mana telah berhasil melewati etape demi etape kehidupan yang sangat menggoyahkan dan menggiurkan. Hanya dengan memiliki karakter ketaqwaan, karakter keilmuan, kesyukuran, keterbimbingan dan kekuatan sempurna ketaqwaan sajalah yang akan mampu menghadapi kehidupan akhir zaman yang sering menghanyutkan dan menggelincirkan.

Allahu Akbar Walillahilhamd

Jamaah rahimakumullah, momentum lebaran ini adalah awal mendeteksi apakah pendidikan selama 1 bulan menuai hasil apa tidak. Jika kita istiqamah dengan tradisi ibadah dan kebaikan untuk 11 bulan ke depan, maka yakinlah puasa kita terindikasi diterima. Tapi jika setelah bulan Ramadhan selesai, kok kita kembali seperti semula, dipastikan pendidikannya mendapti kegagalan alias belum lulus.

Kita sempurnakan puasa ramadlan kita pada hari raya Idul fitri ini dengan menumbuhkan semangat saling memaafkan, saling mengingatkan, saling berbagi kebahagiaan, saling merefleksikan segala sesuatu yang terlewatkan untuk terus kita perbaiki dan tingkatkan..

Akhirnya mari kita berdoa kepada Allah yang maha Rahman agar kita semua menjadi hamba Allah yang sempurna keimanan, sempurna ketaqwaan, sempurna keilmuan, dan kebahagiaan, bahagia keduniawian dan keukhrawian. Amin Allahumma Amiin.

تقبل الله منا ومنكم وصيامنا و صيامكم

وجعلنا الله وإياكم  من العائدين الفائزين المقبولين

بارك الله لى ولكم فى القرآن الكريم ونفعنى وإياكم بما فيه من الآيات والذكر الحكيم وتقبل منى و منكم تلاوته أنه هو السميع العليم